Oleh Aprinus Salam
Suatu malam, saya mendapat
kesempatan berdialog dengan Pak Kunto (Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A) dalam rangka
membuat biografi ringkas atas “pesanan” LP3ES yang kemudian dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Alumni UGM (1999).
Karena jatah tulisan cuma sekitar 4-6 halaman kuarto, banyak catatan saya malam
itu yang tidak terakomodasi. Tulisan berikut ingin menyampaikan beberapa sisi
yang tidak termuat dalam tulisan tersebut.
Seperti diketahui, pada malam dan tahun
itu Pak Kunto memasuki lebih kurang 7 tahun masa sakitnya. Pak Kunto tidak
dapat berbicara dengan baik sehingga harus ditemani oleh istrinya Dra.
Susilawati, M.A. yang bertindak sebagai yang menjelaskan apa yang telah
dikatakan Pak Kunto. Memang, semenjak sakit, perkataan Pak Kunto secara relatif
tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak sehari-hari menemaninya.
Akibat sakit yang dideranya,
kegiatan fisik Pak Kunto jauh berkurang. Secara relatif ia mungkin banyak di
rumah. Tapi semangat dan kerja kerasnya tidak kendur. Karena syaraf motoriknya
ikut rusak, Pak Kunto kalau mengetik hanya
mengandalkan dua jari, dengan tertatih-tatih dan sangat lambat karena ia harus
bekerja keras mengontrol gerakan jari dan tangannya untuk mengetik mesin ketik.
Dari cara mengetik itu, lahir dari jari-jarinya puluhan tulisan yang berharga.
Kita tahu, pada Selasa, 22 Februari
2005, Pak Kunto meninggalkan dunia yang ramai dan sumpek ini. Sekitar pukul
16.00, beliau menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Sardjito, Yogyakarta. Di samping meningalkan satu orang istri dan
dua orang anak laki-laki, Pak Kunto juga mewariskan lebih kurang 20 judul buku,
mulai dari teori dan metodologi sejarah, masalah sosial, politik, kumpulan
puisi dan cerpen, naskah drama, dan sejumlah novel. Hampir semua bukunya
terkenal dan sangat diperhitungkan, baik dalam dunia akademisi dan intelektual,
para aktivis, seniman dan sastrawan, dan masyarakat umum.
* * *
Nama besar Pak Kunto yang dikenal
sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, penyair, intelektual Islam dan dai,
berkebalikan dengan cara dan gaya
hidupnya yang sederhana. Rumahnya biasa saja di perumahan umum di bilangan
Condong Catur, Sleman, Yogya. Mobilnya
juga kendaraan lama yang sama sekali sudah ketinggalan zaman. Ruang tamu rumahnya
sempit dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa orang yang memiliki ruang itu
bisa mendapatkan lebih dari itu.
Cara ngajar Pak Kunto juga
berkebalikan dengan cara ngajar “modern”. Cara ngajar modern tampaknya lebih
mementingkan gaya,
cara, dan penampilan. Pak Kunto lebih mementingkan substansi daripada cara dan gaya. Pak Kunto kalau
ngajar secara relatif sama sekali tidak menarik, bicaranya datar, tidak pernah
memperlihatkan emosinya. Tapi muridnya sungguh berjubal, dan dengan tekun
mengikuti semua pembicaraan Pak Kunto dengan konsentrasi penuh.
Tanyakan kepada semua oang yang
pernah kenal Pak Kunto, apakah ada yang pernah merasa tidak nyaman jika bersama Pak Kunto. Sikap dan perilakunya
sama sekali jauh dari kesan mengancam apapun, banyak senyum, dan hanya
berbicara sejauh perlu. Seorang koleganya mengatakan Pak Kunto itu seseorang
yang sangat nguwongke (memanusiakan)
orang lain. Pak Kunto tahu persis bagaimana memperlakukan orang di sekitarnya.
Dia selalu berusaha nyandra (melihat
karakter orang dalam pengertian luas) setiap orang yang berhubungan dengannya
sehingga Pak Kunto selalu menempatkan konteks relasi secara pas.
Waktu beliau sakit, tidak pernah
terkesan mengeluh, wajahnya tidak terlihat susah atau sedih. Ini berkaitan
dengan praksis kayakinan Islamnya, dan penguasaannya terhadap dimensi terdalam
ajaran Islam, dan kemampuannya mengintergrasikan syariat, tarikat, hakikat, dan
makrifat. Hal itu pun tercermin dalam berbagai tulisannya, khususnya
puisi-puisi seperti terdapat dalam Makrifat
Daun Daun Makrifat (1995). Saya yakin, Pak Kunto tahu persis tarikat yang
harus dia jalani sehingga semua cobaan sakit dan susat dijalani dengan hati
lapang.
Cara hidup lain yang diajarkan Pak
Kunto adalah disiplin hidup. Saya pernah beberapa kali ke rumah Pak Kunto
sehabis magrib. Ditemui istrinya, istrinya memberi alternatif, menunggu hingga
nanti Pak Kunto selesai shalat Isa, atau pulang dulu. Saya memilih pulang dulu,
dan mengatakan kira-kira jam 20.00 akan datang lagi. Karena, kata istrinya, Pak
Kunto biasa mengaji selesai shalat magrib sambil menunggu shalat Isa. Saya jadi
malu sendiri mendapat informasi itu.
Pukul 20.00 saya datang lagi.
Membuka pagar pintu rumah Pak Konto yang dari bambu. (Tapi belakangan sudah
diganti dengan pagar yang lebih baik). Kembali ditemui istrinya kemudian
mengatakan, “Nanti tidak perlu lama-lama yang Mas Aprinus. Kalau belum selesai
besok bisa kita sambung lagi.” Saya berpikir itu karena berkaitan dengan
kesehatan Pak Kunto. Tapi ternyata perkiraan saya salah. “Soalnya, bisanya Pak
Kunto jam 8 belajar.” Istrinya menjelaskan. Pada waktu itulah saya berpikir
bahwa orang ini memang pantas dijadikan guru yang sesungguhnya.
* * *
Banyak pemikiran dan gagasannya
berpengaruh terhadap wacana keilmuan dan dunia seni. Di samping Moeslim Abdurrahman, ia
secara intensif menggagas ide dan teori profetik sebagai basis teori sosial
untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, di samping berbagai
persoalan perkembangan dunia. Teori yang bersumber pada quran tersebut secara
tersirat mencoba mengembalikan kecenceruangan ilmu sosial yang sekuler dan
melupakan peran Tuhan di muka bumi.
Dalam dunia seni-drama, naskahnya Topeng Kaleng (1974) dianggap menjadi
ispirator dan ikut membentuk satu konsep teater sampakan, yang secara intensif dipresentasikan oleh kelompok teater
Yogya, seperti kelompok teater Jeprik, Gandirk, dan sebagainya. Kalau boleh
diingat, gaya sampakan ini sempat
menjadi “identitas” teater Yogya, dan sempat mengharubiru dunia perteateran
nasional, pada akhir 1970-an hingga sepanjang tahun 1980-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar