Oleh Aprinus Salam
Kadang-kadang kita
merasa bahwa Indonesia kok tidak
maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas
politik yang njelimet, mubazir, dan
menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin
banyak orang Indonesia yang sulit cari makan dan perlahan mati karena penyakit
atau kelaparan. Panggung sosial yang semakin berbahaya dan saling bunuh.
Maka mungkin saatnya
kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penyakit masokisme
sosial. Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan,
tetapi bahkan perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan
bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi
sebagai hal yang memang yang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati.
Kita mulai menikmati
bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai
berita yang perlu diikuti. Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan
terlibat. Kemudian simpati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman
(mungkin melalui SMS, internet, dsb), sebagai tanda bahwa kita sangat
bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan
penuh kepuasan.
Kita pun mulai
menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal
merepotkan. Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung “selamatkan
pemilu”. Yakni kita yang merasa puas dapat berprilaku sebagai warga negara yang
baik dan bertanggung-jawab. Kita
mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu.
Kita mendapat kenikmatan berjalan dalam lolong-lorong gelap politik.
Kedua, kita pun juga menikmati
menjadi “penggembos-penggembos pemilu”. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis
dan berani. Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa
daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan menipulatif, lebih baik tidak
perlu ada pemilu. Atau pemilu seperti itu adalah tidak syah. Ada kenikmatan
untuk menjadi pelawan.
Tampaknya kita juga
menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung,
antarsuku. Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah
kenikmatan, yakni adanya kepuasan berlagak penjadi pahlawan-pahlawan kelompok,
kampung, atau suku. Dalam kondisi kenikmatan itu, perkelahian dan perseteruan
menjadi sulit untuk dihentikan. Tidak heran, konflik-konflik sosial selalu
bermunculan di berbagai tempat.
Hal yang parah
adalah kenikmatan dalam menghadapi ritus ekonomi, terutama dalam rangka
“mencari nafka”. Dalam kondisi yang sulit, ada kepuasan jika persoalan mencari
nafka yang semakin berat itu dapat diatasi. Mungkin dengan cara-cara yang halal
atau sesuai dengan prosedur yang diakui bersama sebagai absah. Sangat mungkin
pula dalam ara-cara yang illegal, tetapi tetap mendatangkan kepuasan dan
kenikmatan karena adanya perasaan berhasil mengatasi persoalan hidup.
Hal-hal kecil
keseharian pun tak luput untuk mulai dinikmati. Lalu-lintas jalanan yang ricuh
dan semrawut sebagai hiburan yang menyenangkan. “Kalau gak kacau malah gak
seperti di Indonesia”, jadi nikmati saja. Urusan birokrasi yang tidak teratur
dan semrawut sebagai bagian dari prosedur sosial yang harus dilewati dengan
penuh kenikmatan. Karena jika tidak dinikmati, maka justru stres yang akan
datang.
* * *
Proses mengidap
masokisme sosial itu tentu bukan hal yang datang begitu saja. Ada sejarah
panjang yang menyebabkan kita menjadi bangsa seperti itu. Pada awalnya, dalam
skala lokal-lokal, masyarakat-masyarakat di berbagai belahan di bumi nusantara
ini, terlatih menderita dalam kekuasaan raja-raja lokal. Dalam penderitaan itu,
rakyat akhirnya mendapat kenikmatan bahwa hidup adalah sebuah takdir hierarkis
yang harus dijalani. Rakyat mendapat kenikmatan bila bisa berkorban bagi
junjungannya.
Pada masa
penjajahan, secara sporadis, masyarakat Indonesia semakin dilatih dan terlatih
untuk menderita. Dalam berbagai eksplorasi ekonomi dan penindasan politik,
masyarakat Indonesia mendapat pelajaran bahwa hidup adalah penderitaan yang
harus diatasi. Ada pribahasa yang cukup mewakili kondisi itu, yakni berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Kondisi yang
menyebabkan masokisme sosial semakin akut tentulah pada masa Orde Baru. Dalam
suatu rezim kekuasaan yang otoriter, selama lebih dari 30 tahun rakyat selalu
dipaksa dalam kondisi berakit-rakit ke
hulu. Dengan harapan kelak, akan tercipta negara yang adil, makmur, aman,
dan sejahtera. Mimpi itu selalu disuntikkan kepada setiap warga sehingga rakyat
pun harus menjalani hidup berakit-rakit
ke hulu dengan sabar, prihatin.
Mungkin karena
begitu terbiasa hidup dalam kondisi bersakit-sakit
dahulu, akhirnya tersimpan rasa kepuasan, yang akhirnya menjelma menjadi
sebuah kenikmatan, ketika setiap proses sakit itu berhasil dilewati. Kepuasan
itu didapatkan, dan dengan bagus dirumuskan dengan ungkapan, hidup adalah perjuangan. Artinya, kita
harus mengatasi kondisi sakit itu jika ingin menjadi pejuang-pejuang. Agar
tidak menjadi stres massal, maka kita perlu menikmati masalah-masalah yang
dihadapi agar ke depan berjalan sesuai dengan harapan.
Masalahnya adalah
ada suatu kondisi yang semakin dirasakan sebagai keterlanjuran. Bahkan nyaris
menjadi sebuah keyakinan bahwa begitulah Indonesia. Hal itu terus mengkristal
ketika situasi politik dan ekonomi telah berubah-ubah, tetapi kehidupan
keseharian tidak berubah signifikan. Memang ada upaya-upaya kritis dan
perlawanan, tetapi itu pun dimanfaatkan sebagai strategi untuk menadapatkan
kenikmatan seperti telah disinggung di atas.
Ujung-ujungnya, kita
menjadi seolah pasrah. Dalam kepasrahan itu, kita mulai mentertawakan nasib
kita sendiri. Selalu muncul kepuasan setiap berhasil melewati kesulitan dan
kesakitan. Akhirnya, kita pun mulai berujar, “Nikmatilah hidup ini.”. Sekarang
tampaknya kita betul-betul mulai menikmati.
* * *
Aprinus Salam, staf pengajar di FIB UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar