Sabtu, 21 April 2012

BELAJARLAH SAMPAI KE KUNTOWIJOYO



Oleh Aprinus Salam


Suatu malam, saya mendapat kesempatan berdialog dengan Pak Kunto (Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A) dalam rangka membuat biografi ringkas atas “pesanan” LP3ES yang kemudian dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Alumni UGM (1999). Karena jatah tulisan cuma sekitar 4-6 halaman kuarto, banyak catatan saya malam itu yang tidak terakomodasi. Tulisan berikut ingin menyampaikan beberapa sisi yang tidak termuat dalam tulisan tersebut.
Seperti diketahui, pada malam dan tahun itu Pak Kunto memasuki lebih kurang 7 tahun masa sakitnya. Pak Kunto tidak dapat berbicara dengan baik sehingga harus ditemani oleh istrinya Dra. Susilawati, M.A. yang bertindak sebagai yang menjelaskan apa yang telah dikatakan Pak Kunto. Memang, semenjak sakit, perkataan Pak Kunto secara relatif tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak sehari-hari menemaninya.
Akibat sakit yang dideranya, kegiatan fisik Pak Kunto jauh berkurang. Secara relatif ia mungkin banyak di rumah. Tapi semangat dan kerja kerasnya tidak kendur. Karena syaraf motoriknya ikut rusak,  Pak Kunto kalau mengetik hanya mengandalkan dua jari, dengan tertatih-tatih dan sangat lambat karena ia harus bekerja keras mengontrol gerakan jari dan tangannya untuk mengetik mesin ketik. Dari cara mengetik itu, lahir dari jari-jarinya puluhan tulisan yang berharga.

Kita tahu, pada Selasa, 22 Februari 2005, Pak Kunto meninggalkan dunia yang ramai dan sumpek ini. Sekitar pukul 16.00, beliau menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Sardjito, Yogyakarta. Di samping meningalkan satu orang istri dan dua orang anak laki-laki, Pak Kunto juga mewariskan lebih kurang 20 judul buku, mulai dari teori dan metodologi sejarah, masalah sosial, politik, kumpulan puisi dan cerpen, naskah drama, dan sejumlah novel. Hampir semua bukunya terkenal dan sangat diperhitungkan, baik dalam dunia akademisi dan intelektual, para aktivis, seniman dan sastrawan, dan masyarakat umum.
* * *
Nama besar Pak Kunto yang dikenal sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, penyair, intelektual Islam dan dai, berkebalikan dengan cara dan gaya hidupnya yang sederhana. Rumahnya biasa saja di perumahan umum di bilangan Condong Catur, Sleman, Yogya.  Mobilnya juga kendaraan lama yang sama sekali sudah ketinggalan zaman. Ruang tamu rumahnya sempit dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa orang yang memiliki ruang itu bisa mendapatkan lebih dari itu.
Cara ngajar Pak Kunto juga berkebalikan dengan cara ngajar “modern”. Cara ngajar modern tampaknya lebih mementingkan gaya, cara, dan penampilan. Pak Kunto lebih mementingkan substansi daripada cara dan gaya. Pak Kunto kalau ngajar secara relatif sama sekali tidak menarik, bicaranya datar, tidak pernah memperlihatkan emosinya. Tapi muridnya sungguh berjubal, dan dengan tekun mengikuti semua pembicaraan Pak Kunto dengan konsentrasi penuh.
Tanyakan kepada semua oang yang pernah kenal Pak Kunto, apakah ada yang pernah merasa tidak nyaman  jika bersama Pak Kunto. Sikap dan perilakunya sama sekali jauh dari kesan mengancam apapun, banyak senyum, dan hanya berbicara sejauh perlu. Seorang koleganya mengatakan Pak Kunto itu seseorang yang sangat nguwongke (memanusiakan) orang lain. Pak Kunto tahu persis bagaimana memperlakukan orang di sekitarnya. Dia selalu berusaha nyandra (melihat karakter orang dalam pengertian luas) setiap orang yang berhubungan dengannya sehingga Pak Kunto selalu menempatkan konteks relasi secara pas.
Waktu beliau sakit, tidak pernah terkesan mengeluh, wajahnya tidak terlihat susah atau sedih. Ini berkaitan dengan praksis kayakinan Islamnya, dan penguasaannya terhadap dimensi terdalam ajaran Islam, dan kemampuannya mengintergrasikan syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Hal itu pun tercermin dalam berbagai tulisannya, khususnya puisi-puisi seperti terdapat dalam Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Saya yakin, Pak Kunto tahu persis tarikat yang harus dia jalani sehingga semua cobaan sakit dan susat dijalani dengan hati lapang.
Cara hidup lain yang diajarkan Pak Kunto adalah disiplin hidup. Saya pernah beberapa kali ke rumah Pak Kunto sehabis magrib. Ditemui istrinya, istrinya memberi alternatif, menunggu hingga nanti Pak Kunto selesai shalat Isa, atau pulang dulu. Saya memilih pulang dulu, dan mengatakan kira-kira jam 20.00 akan datang lagi. Karena, kata istrinya, Pak Kunto biasa mengaji selesai shalat magrib sambil menunggu shalat Isa. Saya jadi malu sendiri mendapat informasi itu.
Pukul 20.00 saya datang lagi. Membuka pagar pintu rumah Pak Konto yang dari bambu. (Tapi belakangan sudah diganti dengan pagar yang lebih baik). Kembali ditemui istrinya kemudian mengatakan, “Nanti tidak perlu lama-lama yang Mas Aprinus. Kalau belum selesai besok bisa kita sambung lagi.” Saya berpikir itu karena berkaitan dengan kesehatan Pak Kunto. Tapi ternyata perkiraan saya salah. “Soalnya, bisanya Pak Kunto jam 8 belajar.” Istrinya menjelaskan. Pada waktu itulah saya berpikir bahwa orang ini memang pantas dijadikan guru yang sesungguhnya.
* * *
Banyak pemikiran dan gagasannya berpengaruh terhadap wacana keilmuan dan dunia seni. Di samping Moeslim Abdurrahman, ia secara intensif menggagas ide dan teori profetik sebagai basis teori sosial untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, di samping berbagai persoalan perkembangan dunia. Teori yang bersumber pada quran tersebut secara tersirat mencoba mengembalikan kecenceruangan ilmu sosial yang sekuler dan melupakan peran Tuhan di muka bumi.
Dalam dunia seni-drama, naskahnya Topeng Kaleng (1974) dianggap menjadi ispirator dan ikut membentuk satu konsep teater sampakan, yang secara intensif dipresentasikan oleh kelompok teater Yogya, seperti kelompok teater Jeprik, Gandirk, dan sebagainya. Kalau boleh diingat, gaya sampakan ini sempat menjadi “identitas” teater Yogya, dan sempat mengharubiru dunia perteateran nasional, pada akhir 1970-an hingga sepanjang tahun 1980-an.


Kamis, 19 April 2012

Masokisme Sosial



Oleh Aprinus Salam

Kadang-kadang kita merasa bahwa Indonesia kok tidak maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas politik yang njelimet, mubazir, dan menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin banyak orang Indonesia yang sulit cari makan dan perlahan mati karena penyakit atau kelaparan. Panggung sosial yang semakin berbahaya dan  saling bunuh.
Maka mungkin saatnya kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penyakit masokisme sosial. Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan, tetapi bahkan perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi sebagai hal yang memang yang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati.
Kita mulai menikmati bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai berita yang perlu diikuti. Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan terlibat. Kemudian simpati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman (mungkin melalui SMS, internet, dsb), sebagai tanda bahwa kita sangat bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan penuh kepuasan.
Kita pun mulai menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal merepotkan. Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung “selamatkan pemilu”. Yakni kita yang merasa puas dapat berprilaku sebagai warga negara yang baik dan bertanggung-jawab.  Kita mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu. Kita mendapat kenikmatan berjalan dalam lolong-lorong gelap politik.
Kedua, kita pun juga menikmati menjadi “penggembos-penggembos pemilu”. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis dan berani. Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan menipulatif, lebih baik tidak perlu ada pemilu. Atau pemilu seperti itu adalah tidak syah. Ada kenikmatan untuk menjadi pelawan.
Tampaknya kita juga menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung, antarsuku. Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah kenikmatan, yakni adanya kepuasan berlagak penjadi pahlawan-pahlawan kelompok, kampung, atau suku. Dalam kondisi kenikmatan itu, perkelahian dan perseteruan menjadi sulit untuk dihentikan. Tidak heran, konflik-konflik sosial selalu bermunculan di berbagai tempat.     
Hal yang parah adalah kenikmatan dalam menghadapi ritus ekonomi, terutama dalam rangka “mencari nafka”. Dalam kondisi yang sulit, ada kepuasan jika persoalan mencari nafka yang semakin berat itu dapat diatasi. Mungkin dengan cara-cara yang halal atau sesuai dengan prosedur yang diakui bersama sebagai absah. Sangat mungkin pula dalam ara-cara yang illegal, tetapi tetap mendatangkan kepuasan dan kenikmatan karena adanya perasaan berhasil mengatasi persoalan hidup.
Hal-hal kecil keseharian pun tak luput untuk mulai dinikmati. Lalu-lintas jalanan yang ricuh dan semrawut sebagai hiburan yang menyenangkan. “Kalau gak kacau malah gak seperti di Indonesia”, jadi nikmati saja. Urusan birokrasi yang tidak teratur dan semrawut sebagai bagian dari prosedur sosial yang harus dilewati dengan penuh kenikmatan. Karena jika tidak dinikmati, maka justru stres yang akan datang.
* * *
Proses mengidap masokisme sosial itu tentu bukan hal yang datang begitu saja. Ada sejarah panjang yang menyebabkan kita menjadi bangsa seperti itu. Pada awalnya, dalam skala lokal-lokal, masyarakat-masyarakat di berbagai belahan di bumi nusantara ini, terlatih menderita dalam kekuasaan raja-raja lokal. Dalam penderitaan itu, rakyat akhirnya mendapat kenikmatan bahwa hidup adalah sebuah takdir hierarkis yang harus dijalani. Rakyat mendapat kenikmatan bila bisa berkorban bagi junjungannya.
Pada masa penjajahan, secara sporadis, masyarakat Indonesia semakin dilatih dan terlatih untuk menderita. Dalam berbagai eksplorasi ekonomi dan penindasan politik, masyarakat Indonesia mendapat pelajaran bahwa hidup adalah penderitaan yang harus diatasi. Ada pribahasa yang cukup mewakili kondisi itu, yakni berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Kondisi yang menyebabkan masokisme sosial semakin akut tentulah pada masa Orde Baru. Dalam suatu rezim kekuasaan yang otoriter, selama lebih dari 30 tahun rakyat selalu dipaksa dalam kondisi berakit-rakit ke hulu. Dengan harapan kelak, akan tercipta negara yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. Mimpi itu selalu disuntikkan kepada setiap warga sehingga rakyat pun harus menjalani hidup berakit-rakit ke hulu dengan sabar, prihatin.
Mungkin karena begitu terbiasa hidup dalam kondisi bersakit-sakit dahulu, akhirnya tersimpan rasa kepuasan, yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kenikmatan, ketika setiap proses sakit itu berhasil dilewati. Kepuasan itu didapatkan, dan dengan bagus dirumuskan dengan ungkapan, hidup adalah perjuangan. Artinya, kita harus mengatasi kondisi sakit itu jika ingin menjadi pejuang-pejuang. Agar tidak menjadi stres massal, maka kita perlu menikmati masalah-masalah yang dihadapi agar ke depan berjalan sesuai dengan harapan.
Masalahnya adalah ada suatu kondisi yang semakin dirasakan sebagai keterlanjuran. Bahkan nyaris menjadi sebuah keyakinan bahwa begitulah Indonesia. Hal itu terus mengkristal ketika situasi politik dan ekonomi telah berubah-ubah, tetapi kehidupan keseharian tidak berubah signifikan. Memang ada upaya-upaya kritis dan perlawanan, tetapi itu pun dimanfaatkan sebagai strategi untuk menadapatkan kenikmatan seperti telah disinggung di atas.
Ujung-ujungnya, kita menjadi seolah pasrah. Dalam kepasrahan itu, kita mulai mentertawakan nasib kita sendiri. Selalu muncul kepuasan setiap berhasil melewati kesulitan dan kesakitan. Akhirnya, kita pun mulai berujar, “Nikmatilah hidup ini.”. Sekarang tampaknya kita betul-betul mulai menikmati.  * * *

Aprinus Salam, staf pengajar di FIB UGM, Yogyakarta.