Sabtu, 21 April 2012

BELAJARLAH SAMPAI KE KUNTOWIJOYO



Oleh Aprinus Salam


Suatu malam, saya mendapat kesempatan berdialog dengan Pak Kunto (Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A) dalam rangka membuat biografi ringkas atas “pesanan” LP3ES yang kemudian dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Alumni UGM (1999). Karena jatah tulisan cuma sekitar 4-6 halaman kuarto, banyak catatan saya malam itu yang tidak terakomodasi. Tulisan berikut ingin menyampaikan beberapa sisi yang tidak termuat dalam tulisan tersebut.
Seperti diketahui, pada malam dan tahun itu Pak Kunto memasuki lebih kurang 7 tahun masa sakitnya. Pak Kunto tidak dapat berbicara dengan baik sehingga harus ditemani oleh istrinya Dra. Susilawati, M.A. yang bertindak sebagai yang menjelaskan apa yang telah dikatakan Pak Kunto. Memang, semenjak sakit, perkataan Pak Kunto secara relatif tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak sehari-hari menemaninya.
Akibat sakit yang dideranya, kegiatan fisik Pak Kunto jauh berkurang. Secara relatif ia mungkin banyak di rumah. Tapi semangat dan kerja kerasnya tidak kendur. Karena syaraf motoriknya ikut rusak,  Pak Kunto kalau mengetik hanya mengandalkan dua jari, dengan tertatih-tatih dan sangat lambat karena ia harus bekerja keras mengontrol gerakan jari dan tangannya untuk mengetik mesin ketik. Dari cara mengetik itu, lahir dari jari-jarinya puluhan tulisan yang berharga.

Kita tahu, pada Selasa, 22 Februari 2005, Pak Kunto meninggalkan dunia yang ramai dan sumpek ini. Sekitar pukul 16.00, beliau menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Sardjito, Yogyakarta. Di samping meningalkan satu orang istri dan dua orang anak laki-laki, Pak Kunto juga mewariskan lebih kurang 20 judul buku, mulai dari teori dan metodologi sejarah, masalah sosial, politik, kumpulan puisi dan cerpen, naskah drama, dan sejumlah novel. Hampir semua bukunya terkenal dan sangat diperhitungkan, baik dalam dunia akademisi dan intelektual, para aktivis, seniman dan sastrawan, dan masyarakat umum.
* * *
Nama besar Pak Kunto yang dikenal sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, penyair, intelektual Islam dan dai, berkebalikan dengan cara dan gaya hidupnya yang sederhana. Rumahnya biasa saja di perumahan umum di bilangan Condong Catur, Sleman, Yogya.  Mobilnya juga kendaraan lama yang sama sekali sudah ketinggalan zaman. Ruang tamu rumahnya sempit dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa orang yang memiliki ruang itu bisa mendapatkan lebih dari itu.
Cara ngajar Pak Kunto juga berkebalikan dengan cara ngajar “modern”. Cara ngajar modern tampaknya lebih mementingkan gaya, cara, dan penampilan. Pak Kunto lebih mementingkan substansi daripada cara dan gaya. Pak Kunto kalau ngajar secara relatif sama sekali tidak menarik, bicaranya datar, tidak pernah memperlihatkan emosinya. Tapi muridnya sungguh berjubal, dan dengan tekun mengikuti semua pembicaraan Pak Kunto dengan konsentrasi penuh.
Tanyakan kepada semua oang yang pernah kenal Pak Kunto, apakah ada yang pernah merasa tidak nyaman  jika bersama Pak Kunto. Sikap dan perilakunya sama sekali jauh dari kesan mengancam apapun, banyak senyum, dan hanya berbicara sejauh perlu. Seorang koleganya mengatakan Pak Kunto itu seseorang yang sangat nguwongke (memanusiakan) orang lain. Pak Kunto tahu persis bagaimana memperlakukan orang di sekitarnya. Dia selalu berusaha nyandra (melihat karakter orang dalam pengertian luas) setiap orang yang berhubungan dengannya sehingga Pak Kunto selalu menempatkan konteks relasi secara pas.
Waktu beliau sakit, tidak pernah terkesan mengeluh, wajahnya tidak terlihat susah atau sedih. Ini berkaitan dengan praksis kayakinan Islamnya, dan penguasaannya terhadap dimensi terdalam ajaran Islam, dan kemampuannya mengintergrasikan syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Hal itu pun tercermin dalam berbagai tulisannya, khususnya puisi-puisi seperti terdapat dalam Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Saya yakin, Pak Kunto tahu persis tarikat yang harus dia jalani sehingga semua cobaan sakit dan susat dijalani dengan hati lapang.
Cara hidup lain yang diajarkan Pak Kunto adalah disiplin hidup. Saya pernah beberapa kali ke rumah Pak Kunto sehabis magrib. Ditemui istrinya, istrinya memberi alternatif, menunggu hingga nanti Pak Kunto selesai shalat Isa, atau pulang dulu. Saya memilih pulang dulu, dan mengatakan kira-kira jam 20.00 akan datang lagi. Karena, kata istrinya, Pak Kunto biasa mengaji selesai shalat magrib sambil menunggu shalat Isa. Saya jadi malu sendiri mendapat informasi itu.
Pukul 20.00 saya datang lagi. Membuka pagar pintu rumah Pak Konto yang dari bambu. (Tapi belakangan sudah diganti dengan pagar yang lebih baik). Kembali ditemui istrinya kemudian mengatakan, “Nanti tidak perlu lama-lama yang Mas Aprinus. Kalau belum selesai besok bisa kita sambung lagi.” Saya berpikir itu karena berkaitan dengan kesehatan Pak Kunto. Tapi ternyata perkiraan saya salah. “Soalnya, bisanya Pak Kunto jam 8 belajar.” Istrinya menjelaskan. Pada waktu itulah saya berpikir bahwa orang ini memang pantas dijadikan guru yang sesungguhnya.
* * *
Banyak pemikiran dan gagasannya berpengaruh terhadap wacana keilmuan dan dunia seni. Di samping Moeslim Abdurrahman, ia secara intensif menggagas ide dan teori profetik sebagai basis teori sosial untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, di samping berbagai persoalan perkembangan dunia. Teori yang bersumber pada quran tersebut secara tersirat mencoba mengembalikan kecenceruangan ilmu sosial yang sekuler dan melupakan peran Tuhan di muka bumi.
Dalam dunia seni-drama, naskahnya Topeng Kaleng (1974) dianggap menjadi ispirator dan ikut membentuk satu konsep teater sampakan, yang secara intensif dipresentasikan oleh kelompok teater Yogya, seperti kelompok teater Jeprik, Gandirk, dan sebagainya. Kalau boleh diingat, gaya sampakan ini sempat menjadi “identitas” teater Yogya, dan sempat mengharubiru dunia perteateran nasional, pada akhir 1970-an hingga sepanjang tahun 1980-an.


Kamis, 19 April 2012

Masokisme Sosial



Oleh Aprinus Salam

Kadang-kadang kita merasa bahwa Indonesia kok tidak maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas politik yang njelimet, mubazir, dan menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin banyak orang Indonesia yang sulit cari makan dan perlahan mati karena penyakit atau kelaparan. Panggung sosial yang semakin berbahaya dan  saling bunuh.
Maka mungkin saatnya kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penyakit masokisme sosial. Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan, tetapi bahkan perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi sebagai hal yang memang yang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati.
Kita mulai menikmati bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai berita yang perlu diikuti. Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan terlibat. Kemudian simpati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman (mungkin melalui SMS, internet, dsb), sebagai tanda bahwa kita sangat bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan penuh kepuasan.
Kita pun mulai menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal merepotkan. Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung “selamatkan pemilu”. Yakni kita yang merasa puas dapat berprilaku sebagai warga negara yang baik dan bertanggung-jawab.  Kita mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu. Kita mendapat kenikmatan berjalan dalam lolong-lorong gelap politik.
Kedua, kita pun juga menikmati menjadi “penggembos-penggembos pemilu”. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis dan berani. Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan menipulatif, lebih baik tidak perlu ada pemilu. Atau pemilu seperti itu adalah tidak syah. Ada kenikmatan untuk menjadi pelawan.
Tampaknya kita juga menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung, antarsuku. Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah kenikmatan, yakni adanya kepuasan berlagak penjadi pahlawan-pahlawan kelompok, kampung, atau suku. Dalam kondisi kenikmatan itu, perkelahian dan perseteruan menjadi sulit untuk dihentikan. Tidak heran, konflik-konflik sosial selalu bermunculan di berbagai tempat.     
Hal yang parah adalah kenikmatan dalam menghadapi ritus ekonomi, terutama dalam rangka “mencari nafka”. Dalam kondisi yang sulit, ada kepuasan jika persoalan mencari nafka yang semakin berat itu dapat diatasi. Mungkin dengan cara-cara yang halal atau sesuai dengan prosedur yang diakui bersama sebagai absah. Sangat mungkin pula dalam ara-cara yang illegal, tetapi tetap mendatangkan kepuasan dan kenikmatan karena adanya perasaan berhasil mengatasi persoalan hidup.
Hal-hal kecil keseharian pun tak luput untuk mulai dinikmati. Lalu-lintas jalanan yang ricuh dan semrawut sebagai hiburan yang menyenangkan. “Kalau gak kacau malah gak seperti di Indonesia”, jadi nikmati saja. Urusan birokrasi yang tidak teratur dan semrawut sebagai bagian dari prosedur sosial yang harus dilewati dengan penuh kenikmatan. Karena jika tidak dinikmati, maka justru stres yang akan datang.
* * *
Proses mengidap masokisme sosial itu tentu bukan hal yang datang begitu saja. Ada sejarah panjang yang menyebabkan kita menjadi bangsa seperti itu. Pada awalnya, dalam skala lokal-lokal, masyarakat-masyarakat di berbagai belahan di bumi nusantara ini, terlatih menderita dalam kekuasaan raja-raja lokal. Dalam penderitaan itu, rakyat akhirnya mendapat kenikmatan bahwa hidup adalah sebuah takdir hierarkis yang harus dijalani. Rakyat mendapat kenikmatan bila bisa berkorban bagi junjungannya.
Pada masa penjajahan, secara sporadis, masyarakat Indonesia semakin dilatih dan terlatih untuk menderita. Dalam berbagai eksplorasi ekonomi dan penindasan politik, masyarakat Indonesia mendapat pelajaran bahwa hidup adalah penderitaan yang harus diatasi. Ada pribahasa yang cukup mewakili kondisi itu, yakni berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Kondisi yang menyebabkan masokisme sosial semakin akut tentulah pada masa Orde Baru. Dalam suatu rezim kekuasaan yang otoriter, selama lebih dari 30 tahun rakyat selalu dipaksa dalam kondisi berakit-rakit ke hulu. Dengan harapan kelak, akan tercipta negara yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. Mimpi itu selalu disuntikkan kepada setiap warga sehingga rakyat pun harus menjalani hidup berakit-rakit ke hulu dengan sabar, prihatin.
Mungkin karena begitu terbiasa hidup dalam kondisi bersakit-sakit dahulu, akhirnya tersimpan rasa kepuasan, yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kenikmatan, ketika setiap proses sakit itu berhasil dilewati. Kepuasan itu didapatkan, dan dengan bagus dirumuskan dengan ungkapan, hidup adalah perjuangan. Artinya, kita harus mengatasi kondisi sakit itu jika ingin menjadi pejuang-pejuang. Agar tidak menjadi stres massal, maka kita perlu menikmati masalah-masalah yang dihadapi agar ke depan berjalan sesuai dengan harapan.
Masalahnya adalah ada suatu kondisi yang semakin dirasakan sebagai keterlanjuran. Bahkan nyaris menjadi sebuah keyakinan bahwa begitulah Indonesia. Hal itu terus mengkristal ketika situasi politik dan ekonomi telah berubah-ubah, tetapi kehidupan keseharian tidak berubah signifikan. Memang ada upaya-upaya kritis dan perlawanan, tetapi itu pun dimanfaatkan sebagai strategi untuk menadapatkan kenikmatan seperti telah disinggung di atas.
Ujung-ujungnya, kita menjadi seolah pasrah. Dalam kepasrahan itu, kita mulai mentertawakan nasib kita sendiri. Selalu muncul kepuasan setiap berhasil melewati kesulitan dan kesakitan. Akhirnya, kita pun mulai berujar, “Nikmatilah hidup ini.”. Sekarang tampaknya kita betul-betul mulai menikmati.  * * *

Aprinus Salam, staf pengajar di FIB UGM, Yogyakarta.

Senin, 09 April 2012

Habitus Perubahan Sosial di Indonesia

Walaupun tidak begitu populer, belakangan ini di sejumlah kalangan muncul wacana bagaimana menskenario perubahan sosial Indonesia ke depan agar bisa menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan terwujudnya kualitas hidup modern yang merata. Dari wacana itu dapat diketahui bahwa saat ini bangsa kita ternyata belum maju, belum sejahtera, dan bellum modern sepenuhnya.

Kita sudah lama merindukan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera sehingga karena belum (“tidak”) pernah tercapai, harapan itu sekarang seperti mimpi. Dalam sebuah tulisannya, Haryatmoko (2007) berpendapat bahwa untuk menjadi bangsa yang seolah seperti mimpi itu, perlu diketahui simpul-simpul perubahan habitus, dan salah satu yang perlu diperbaiki adalah pendidikan. Bukan saja pendidikan dalam pengertian formal, tetapi bagaimana masyarakat dan negara bersama-sama mendidik warganya menjadi manusia modern, maju, dan beradab.

Untuk itu, demikian tulisan Haryatmoko tersebut, perlu dibangun semacam sistem atau cara yang efektif dan efisien agar masyarakat, tanpa disadarinya, terkondisi dan dikondisikan dalam sistem yang mengubah habitus yang buruk, yang egois, yang korup, yang manipulatif, bukan saja dengan cara persuasi, tetapi dengan cara teknologisasi sistemik perilaku itu sendiri.

Walaupun dua tulisan di atas tujuannya hampir sama, tetapi terdapat perbedaan penting dalam hal perspektif. Tulisan ini ingin melengkapi dari sisi lain, dalam pengertian membangun jembatan agar “misi” kedua tulisan di atas dapat lebih terhubungkan.

* * *

Membaca Visi Indonesia 2030, dalam ayat-ayat empat pencapaian, pencapaian lainnya pada tahun 2030, dan syarat utama yang harus dipenuhi dalam pencapaian (Kompas, 23/3/2007, hlm. 15) seolah membaca suatu program bahwa masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang diatur dalam sistem-sistem dan norma-norma ekonomi belaka. Di sinilah kesalahan mendasar Visi Indonesia 2030, sehingga jauh-jauh hari saya ingin meramal bahwa Visi Indonesia 2030 itu pastilah gagal jika tidak memperhitungkan aspek sosial, budaya, politik, dan habitus masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya, perlu diketahui habitus perubahan sosial di Indonesia.

Dalam sejarah perubahan sosial di Indonesia, paling tidak terdapat sejumlah hal penting yang secara sisnifikan dapat dikategorikan sebagai pemicu atau faktor-faktor penyebab perubahan sosial, yakni ekonomi, teknologi, politik, pendidikan, agama, tradisi, dan kualitas SDM. Faktor-faktor tersebut bekerja bersama-sama, saling bersinergi, tetapi sangat mungkin pula saling bertentangan sehingga satu faktor mengganjal faktor yang lain.

Kinerja setiap faktor berbeda-beda dalam setiap kelompok masyarakat Indonesia yang demikian majemuk dan beragam. Misalnya, sebagian besar masyarakat Jawa, dalam sejarah dan tradisinya, perilaku ekonomi rasional bukan sesuatu yang sangat signifikan dalam hidupnya. Mereka lebih mementingkan “rasa berbudaya” di lingkungannya. Atau, bahkan politik kekuasaan lebih menarik sebagian besar masyarakat dari Jawa sehingga hierarki sosial selalu dibakukan, pengembangan kehidupan demokratis menjadi terhalang.

Dalam sejarahnya juga, politik jauh lebih “mengatur” perubahan sosial di Indonesia ketimbang faktor yang lain. Pada masa kolonial, politik ekonomi kapitalisme kolonial memang didesain hanya untuk menguntungkan Pemerintah Belanda. Hal itu terjadi justru karena Belanda “tahu persis” budaya ekonomi, tradisi, dan praktik hidup sehari-hari pribumi, sehingga skenario pemerintah “gupermen” itu berhasil untuk dirinya, dan walaupun ekonomi pribumi sebagian besar gulung tikar.

Pada masa Orde Lama, konsentrasi politik yang digiring Soekarno memporakporandakan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1964-1965-an, menurut catatan Arief Budiman, Indonesia mencapai inflasi sekitar 732% (Budiman, 1991). Pada masa Orde Baru, konsentrasi pada pembangunan ekonomi memang memperlihatkan tanda-tanda sukses. Walaupn ternyata, fondasi ekonomi Indonesia, yang tidak didukung bangunan habitus sosial dan budaya yang rasional dan modern, membuat bangunan ekonomi Indonesia sangat rapuh.

Kemudian, represi politik dan pemasungan demokrasi yang lama, membuat tekanan itu meledak. Ujungnya, tahun 1997 perekonomian Indonesia melorot dratis hingga mencapai inflasi 300-400%. Kehidupan ekonomi Indonesia seolah merangkak kembali dari bawah. Bukan hanya ekonomi, segala sesuatunya seolah mulai lagi dari awal. Hingga kini bahkan kita masih merasakan seolah-olah kita sebagai bangsa yang demikian terseok-seok.

Faktor-faktor budaya beragama di Indonesia juga seolah “tidak pernah cukup puas” dalam ikut mengatur skenario dan arah perubahan sosial di Indonesia. Konflik-konflik kecil dan besar, yang kemudian berujung pada politisasi dan politik, tidak pelak menjadi batu-batu kerikil ataupun batu karang dalam mengganjal untuk mencapai proses kemajuan modern yang dicita-citakan Visi Indonesia 2030. Energi orang Indonesia demikian terserap sehingga “waktu belajar yang serius” menjadi berkurang.

Uraian di atas memberi informasi bahwa habitus perubahan sosial di Indonesia perlu “diskenario” ulang dengan memperhitungkan habitus praktik sosial-budaya yang hidup, bahkan hingga hari ini. Sejauh ini, memang, informasi tentang Visi Indonesia 2030 hanya saya dengar dari televisi dan Kompas termaksud.

* * *

Dalam situasi itu, hingga sekarang, pendidikan yang dipraktikkan, tidak sempat mengolah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan (SDM) yang secara tangkas mampu mengapropriasi masa depan yang semakin terglobalkan. Pendidikan tidak lebih semacam “ritus modern” untuk mendapatkan selembar sertifikat, setelah itu para terdidik masuk ke kehidupan masyarakat, ke dunia birokrasi, ke dunia swasta, ke dunia politik praktis “untuk mencari nafkah”, dan kembali terjebak ke dalam habitus-habitus yang sudah terbentuk sebelumnya.

Sekarang, kenyataannya, kondisi itu diperburuk dengan labil dan lemahnya negara dalam membangun dan memfasilitasi warga untuk menciptakan masyarakat yang bermutu. Kesibukan mengatasi berbagai bencana, politik kekuasaan yang berorientasi pada dirinya sendiri, buruknya penegakkan hukum, anjloknya kehidupan ekonomi. Buruknya habitus sosial dan budaya kita, membuat Visi Indonesia 2030 hanya akan selalu menjadi mimpi.

* * *

Dalam kodisi itu, masihkah ada harapan? Sebagai makhluk yang percaya pada kekuasaan Tuhan, tentulah masih ada. Dalam situasi itulah, saya sangat mendukung tulisan Haryatmoko. Haryatmoko mengingatkan bahwa salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan melepas simpul-simpul habitus yang selama ini mengikat masyarakat Indonesia terpenjara dalam kebiasaan-kebiasaan buruk dan sangat tidak produktif.

Untuk itu, perlu diperbanyak identifikasi di mana sajakah simpul-simpul itu terlanjur mengikat di sana sini. Di mana dan bagaimana simpul habitus korupsi sehingga bisa dilepas dengan cara yang efektif dan efisien. Di mana dan bagaimana simpul belenggu hukum sehingga jika simpul itu di-bandrek, penegakkan hukum bisa dijalankan secara efektif. Di mana dan bagaimana pula simpul nepotisme sehingga jika diputus nepotisme bisa tercerai berai. Beberapa contoh telah diberikan Haryatmoko.

Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi simpul-simpul habitus itu, mau tidak mau, adalah studi-studi yang mendalam tentang realitas sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Berbagai kegagalan yang telah dicontohkan pada masa lalu selayaknya diperhitungkan agar proyek Visi Indonesia 2030 tidak menjadi proyek mimpi, proyek yang ingin mengambil muka kekuasaan. Mumpung Indonesia sedang terperosok secara ekonomi, perlu visi ekonomi seperti menjadi misi Yayasan Indonesia Forum.

Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa skenario ekonomisasi masyarakat tidak mungkin berjalan sendiri dalam merubah masa depan Indonesia. Karakter budaya orang Indonesia pada umumnya, juga terbentuk karena habitus-habitus kecil keseharian yang lebih mendarah daging. Habitus-habitus kecil itu, terstruktur dalam sejarah skenario habitus perubahan sosial yang lebih besar. Struktur itu harus diketehui persis agar tidak salah langkah lagi.

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Jumat, 06 April 2012

BISNIS RAHASIA

BISNIS RAHASIA

Oleh Aprinus Salam

Beberapa tahun belakangan ini, sangat banyak pelatihan, seminar, workshop, atau buku-buku yang membuka rahasia. Misalnya, kita akan sering berjumpa dengan seminar, pelatihan, atau buku-buku “rahasia sukses menjadi pengusaha, rahasia menuju kaya raya, inti rahasia menjadi presenter, menguak rahasia mencapai penyanyi terkenal, rahasia sukses sembahyang khusuk, rahasia besar menjadi dai kondang, rahasia masuk surga,” dan sebagainya.

Hal penting lainnya adalah bahwa bisnis rahasia itu secara langsung ditulis atau dibimbing oleh orang yang memang terkenal karena sukses di bidang itu. Maka buku itu akan laris, seminar itu akan dihadiri berjubel orang. Pelatihan yang berharga mahal itu diikuti orang banyak dengan antusias. Semua orang mempelajari rahasia tadi dengan semangat.

Walaupun agak lucu, kita tidak membicarakan penguakan rahasia masuk surga. Bukan saja itu agak sok-sok an, sok tahu rencana dan pikiran Tuhan, tapi, ini memang jenis rahasia yang lain. Paling tidak hingga hari ini kita belum tahu siapa saja yang pernah sukses masuk surga. Jadi, aneh jika ada pelatihan seperti itu, dan ternyata animo orang untuk mengikuti penguakan rahasia masuk surga juga besar. Mungkin ada perasaan bahwa dengan mengikuti pelatihan itu, seperti membeli tiket pintu surga.

Rahasia adalah sesuatu yang tersembunyi, yang tidak diketahui orang, tetapi efeknya bisa dirasakan. Efek itu diketahui setelah seseorang sukses dalam bidang tertentu. Misalnya saja, rahasia seseorang menjadi milyader karena ia berpuasa terus menerus selama tiga tahun nonstop. Ada seorang teman membuka rahasia suksesnya karena setiap hari sejak remaja ia memulai aktivitasnya jam 4 pagi, berdoa, menulis, dan merencanakan kegiatan hari itu.

Kita juga tidak mempersoalkan apakah kebiasaan teman-teman yang sukses itu berkorelasi langsung dengan rahasia sukses menjadi milyader. Tapi, biasanya, kita dikondisikan untuk percaya bahwa perilaku “positif” itu langsung atau tidak berhubungan dengan kesuksesan seseorang.

* * *

Dari survei yang sempat dilakukan, sebetulnya jenis rahasia yang diperjualbelikan tidak banyak. Secara umum jenis rahasia yang dikuak adalah bagaimana kita bisa sukses kaya, sukses terkenal (yang berimplikasi pada aset ekonomi). Itu artinya sukses yang bersifat fisik. Di sisi lain adalah sukses untuk menjadi orang yang relijius, seseorang yang saleh (aspek batiniah), dan dengan cara itu diharapkan bisa mendulang sukses jika kelak meninggal. Jadi aspek yang ditelanjangi itu bersifat lahir; dan batin.

Para penjual yang sukses tahu persis bahwa sangat banyak orang ingin sukses lahir dan batin. Sebetulnya, banyak orang yang sukses tidak ingin menjual rahasia suksesnya karena tentu saja jika rahasia suksesnya diketahui banyak orang, maka pesaingnya akan menjadi lebih banyak. Dan itu memperkecil peluangnya untuk sukses terus menerus. Paling tidak ia akan mendapat tantangan serius dari orang banyak yang juga ingin merebut sukses setelah mengetahui trik-trik untuk sukses.

Masalahnya adalah banyak orang yang mengetahui trik-trik agar bisnisnya laku, dan merekalah yang menjual rahasia sukses orang sukses. Mereka melakukan berbagai kegiatan, menulis buku tentang orang sukses, yang kepentingan utamanya adalah mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ujung-ujungnya adalah menjual rahasia itu sendiri sebagai komoditas. Biasanya rahasia sukses yang dibongkar adalah sesuatu “profesi” yang aman. Misalnya pedagang, presenter, penyanyi, artis, kiyai, atau hal-hal yang terbukti sebagai profesi yang sukses di Indonesia.

* * *

Saat ini, sudah banyak orang tahu rahasia sukses orang-orang yang sukses. Implikasi dari kenyataan itu adalah bahwa saat ini tidak ada lagi rahasia, karena semuanya sudah dikuak. Masalahnya, apakah kesuksesan masa depan sudah dapat dipastikan ketika hampir semua rahasia sukses, hari-hari ini, sudah ditelanjangi sehingga setiap orang yang serius mempelajari rahasia tadi masa depannya akan pula sukses?

Di sinilah masalahnya. Sejumlah orang lupa bahwa kesuksesan berhubungan langsung dengan keberuntungan (nasib baik). Ada orang yang bekerja 18 jam sehari, dan tidak lupa berdoa, nasibnya tatap seja sebagai pembantu rumah tangga. Artinya, ada sebuah sistem “Besar” yang kita tidak tahu bagaimana sistem itu mengelola nasib baik atau keberuntungan seseorang. Itulah sebabnya, yang hampir tidak ditemui adalah menguak rahasia untuk mendapatkan keberuntungan, nasib baik.

Di samping itu, kita juga sering lupa bahwa rahasiwa sukses 20 tahun atau 30 tahun yang lalu sudah berbeda konteks rahasianya dibandingkan zaman sekarang, dan berbeda lagi untuk 15 atau 20 tahun mendatang. Zaman menuntut sesuatu yang berbeda. Ada sebuah sistem yang kita tidak tahu, yang terus berkembang dan melakukan transformasi sehingga rahasia dulu dan hari ini menjadi sesuatu yang tidak berhubungan. Hal yang kita lupakan, masa depan tetap rahasia. Tidak ada dari kita yang dapat mengetahuinya dengan pasti.

Senyampang dengan itu, hal utama yang perlu dilakukan adalah bekerja keras dan berikhtiar dengan sepenuh hati. Tidak perlu latah atau tergoda untuk ikut pelatihan atau seminar rahasia sukses kalau ternyata rahasia itu tidak relevan bila dihadapkan dengan keberuntungan. Juga tidak perlu terpesona dengan orang sukses atau terkenal, jika itu hanya sebuah kisah nasib baik.

* * *

Hal yang menarik bahwa sangat jarang ada jualan rahasia sukses untuk menjadi profesi-profesi yang tidak aman. Persolannya mungkin bukan karena tidak laku, tetapi bahwa profesi itu tidak pernah sukses di Indonesia. Profesi itu misalnya jaksa, pengacara, polisi, guru, bupati, camat, gubernur, menteri, dan sebagainya. Memang, mereka sukses bisa bekerja dan menduduki profesi atau jabatan tersebut. Selain guru, biasanya mereka juga kaya raya.

Masalahnya adalah bahwa jabatan seperti itu sangat jarang sukses di Indonesia. Kita begitu bermimpi menemukan polisi yang sukses sebagai polisi, camat yang sukses sebagai camat, bupati yang sukses sebagai bupati, menteri yang sukses sebagai menteri. Di Indonesia, jabatan-jabatan itu akan sangat sulit ditembus seseorang untuk mendapatkan predikat sukses. Apakah kita punya menteri, polisi, jaksa, hakim, yang sukses dalam kariernya?

Misal lain, tidak ada rahasia membuat lembaga anti-korupsi, atau menjadikan seseorang tokoh atau pahlawan anti korupsi. Masalahya adalah bahwa sangat sulit orang menjadi pahlawan ketika pemberantasan korupsi di Indonesia tidak pernah bisa sukses. Sama halnya menjadi jaksa atau pengacara, dia sukses, terkenal, dan kaya raya, tetapi profesinya sebagai pengacara atau jaksa itu sendiri adalah suatu citra yang buruk karena hampir tidak ada pengacara atau jaksa sukses sebagai pengacara atau jaksa.

Ingin rasanya saya usul, mbok wilayah penuh tantangan itu digarap. Misalnya, rahasia sukses menjadi polisi, atau jaksa, atau hakim. Tapi sangat mungkin jualan rahasia itu tidak laku. Orang akan bilang, “Wong kamu saja tidak sukses menjadi polisi, atau jaksa, atau hakim. Apa yang bisa saya pelajari dari penguakan rahasia itu. Aneh-aneh saja kamu itu.”

Aprinus Salam, pengajar di FIB UGM, penyuka masalah-masalah sosial-budaya.

Dibutuhkan Sukarelawan Cinta

DIBUTUHKAN SUKARELAWAN CINTA

Oleh Aprinus Salam

Apa yang paling kita butuhkan dalam setiap proses-proses politik, katakanlah politik pemilu. Seperti dapat kita saksikan bersama, politik pemilu secara relatif menjadi wacana dan praktik sentral politik di Indonesia. Berdasarkan perhitungan kasar (di atas kertas), maka mulai dari pemilihan kades, bupati, gubernur, legislatif (DPRD dan DPR), dan presiden, maka alangkah banyaknya pemilu. Ini mengingat di Indonesia ada sekitar ribuan kades, lebih dari 460 kabupaten, dan 33 propinsi.

Pemilu menjadi ajang paling absah dalam merebut kekuasaan untuk segala levelnya. Di Indonesia, mayoritas masyarakat hampir menempatkan politik-kekuasaan bukan semata sebagai realisasi diri, melainkan sebagai ajang “mencari nafkah”. Ini terjadi mengingat sulitnya mencari pekerjaan. Kalau toh ada pekerjaan, sebagian besar kualifikasi masyarakat Indonesia tidak memenuhi persyaratan terhadap profesi pekerjaan itu.

Karena kondisi itu, politik, yang dalam hal ini diakomodasi oleh puluhan partai, menjadi ajang terbuka untuk “mencari nafkah”. Kekuasaan di Indonesia hampir identik dengan pusat sumber keuangan. Karena kelak siapapun yang berkuasa, maka merekalah yang akan menentukan bagaimana sumber keuangan itu diberdayakan, didistribusikan, atau bahkan dimainkan.

Itulah sebabnya, politik di Indonesia berjalan dengan amat ketat, penuh persaingan, dan perlu dukungan modal uang dan orang. Partai dan orsospol perlu mempersiapkan dirinya secara kuat jika tidak mau kalah sebelum bertanding (berperang). Maka muncullah kesatuan-kesatuan pengamanan yang memang dipersiapkan untuk hal-hal insidental jika terjadi kekacauan karena ketatnya persaingan.

Kondisi itu juga memaksa negara, dengan aparat keamanannya mempersiapkan dirinya secara matang. Polisi dan tentara siap dikerahkan jika dalam prosesnya terjadi hal-hal kekerasan, yang kita tahu, sangat sering terjadi. Beberapa kasus di berbagai daerah, baik prosesi pemilu tingkat gubernur atau bupati yang berakhir dengan kericuhan adalah segelintir potret politik pemilu kita.

Kita perlu merubah paradigma mengamankan politik pemilu itu dengan cara baru, dengan cara yang santun dan elegan, dengan cara yang beradab, indah, dan menyenangkan.

* * *

Bahwa yang kita butuhkan bukan polisi, bukan banser, bukan laskar-laskar, atau satuan khusus pengamanan, bukan hansip, bukan tentara. Bukan mereka yang berseragam kaku, mungkin berwana hitam, merah, atau loreng-loreng dengan membawa pentungan. Hal itu hanya membuat proses politik berjalan menakutkan, seram, dan berbahaya.

Yang kita butuhkan adalah sukarelawan-sukarelawan cinta. Sukarelawan cinta dalam hal ini adalah mereka yang mensinergiskan dirinya hanya berdasarkan ikatan cinta; cinta damai, keadilan, kejujuran, kebenaran, dan cinta sesama manusia. Mereka diharapkan tidak terikat dengan kelompok kepentingan tertentu, apalagi partai politik, mereka manusia bebas (independen), dan dengan kesadaran penuh menjunjung kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam menjalankan peran-perannya, selayaknya mereka tidak memakai seragam tertentu, atau hal-hal yang memberikan identitas tertentu. Hal itu hanya akan membuat pengelompokan yang tidak perlu. Jika terjadi pengelompokan, maka akan terjadi pengeluaran terhadap mereka yang merasa tidak menjadi bagian dari kelompok tersebut. Jika itu terjadi, maka akan ada kita dan lainnya. Itu akan menghilangkan kebersamaan.

Sukarelawan cinta bekerja tanpa pretensi keberpihakan, karena yang ia perjuangkan adalah apa yang menjadi komitmen cintanya. Ia bukan siapa-siapa, dan tidak perlu menjadi siapa-siapa. Ia juga bisa dari mana saja, dari profesi apa saja, atau dari suku, agama, dan ras, apa saja. Di atas semua itu yang penting dia cuma manusia yang berniat memberikan cintanya kepada sesama manusia.

Ia siap tidak populer dan bahkan tidak dikenal. Ia siap menjadi pihak yang dikambinghitamkan, sampah makian, asal hal itu menimbulkan kebaikan bagi berbagai pihak. Ia siap dirugikan asal mendatangkan kebenaran, kejujuran, dan kedamaian. Ia siap bekerja di mana saja, tanpa terikat ruang dan waktu karena cintanya kepada kehidupan dan kebaikan.

* * *

Tentu sulit mensinergiskan para sukarelawan cinta. Pertama, aktivitas itu nyaris tidak mendatangkan keuntungan finansial apapun. Kedua, karena ini gerakan kasih-sayang maka dampaknya mungkin tidak kelihatan, atau tidak bisa segera dirasakan. Ketiga, aktivitas ini nyaris tanpa organisasi, sehingga sangat mungkin kegiatannya tidak terkelola dengan baik. Karena tidak terkelola, sangat mungkin para sukarelawan cinta tidak dapat mengklaim bahwa kebaikan yang terjadi sebagai hasil dari pekerjaan mereka.

Menjadi persoalan pula, siapa yang bersedia menjadi sukarelawan-sukarelawan cinta dalam membenahi dan mengatasi berbagai persoalan kehidupan dengan cara-cara seperti itu. Itulah sebabnya, saya pastikan mereka yang bersedia menjadi sukarelawan cinta adalah sebagai berikut.

Pertama, mereka yang bersedia menjadi sukarelawan cinta tentulah mereka yang sakti, mereka yang dalam banyak hal sudah selesai dengan “urusan duniawi”. Kedua, mereka yang memiliki energi positif yang besar dalam dirinya, yang berkorelasi langsung dengan kejujuran, kebenaran, dan cinta-kasih. Ketiga, mereka yang dalam kondisi satu dan dua itu, siap untuk tidak diketahui keberadaannya.

Akan tetapi, bukan berarti Anda tidak bisa menjadi sukarelawan cinta. Karena siapapun sebetulnya kita, kita memiliki kemampuan untuk menjadi sukarelawan cinta. Menjadi sukarelawan cinta juga tidak harus berkonotasi penuh. Ketika Anda selalu memberikan wajah senyum kepada siapa saja, maka Anda telah memulai diri Anda menjadi sukarelawan cinta.

Ketika Anda telah merasa sangat tidak menyukai perseteruan, pertengkaran, percekcokan, maka Anda sudah menjadi bagian dari sukarelawan cinta. Ketika Anda menolak diajak melakukan ketidakjujuran, tipu muslihat, korupsi, memburuk-burukan pihak lain, tidak bersedia merugikan atau menjahati orang lain, maka Anda sudah menjadi bagian dari sukarelawan cinta.

Ketika Anda siap dikecewakan dan disakiti hanya demi berharap kemuliaan hidup dan kehidupan, maka Anda telah menjadi sukarelawan cinta. Sekaligus menunjukkan bahwa Anda memang sakti mandraguna. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Memberdayakan Hantu

MEMBERDAYAKAN HANTU, MENYELAMATKAN INDONESIA

Oleh Aprinus Salam

Wahai para dukun dan paranormal Indonesia,

bersatulah, selamatkan Indonesia

Keberadaan dan persoalan hantu dari dulu sudah merupakan sesuatu yang eksis di tengah masyarakat. Cuma dulu-dulu keberadaan hantu masih dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif. Orang masih mengalami keterbatasan perspektif dan media untuk memahami dan menghadirkan hantu sebagai suatu bagian dari aktivitas publik. Hantu masih dianggap sebagai sesuatu yang misterius, abstrak, bahkan berkonotasi agak menakutkan.

Beberapa tahun belakangan ini keberadaan hantu menjadi bagian penting yang inklusif dalam berbagai kegiatan masyarakat: politik, ekonomi, sosial, kesehatan, bisnis, hiburan, hukum, dan sebagainya. Keberadaan hantu muncul di mana-mana, sehari-hari, tidak misterius, tidak abstrak, dan bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Ia menjadi bagian perbincangan yang menggairahkan, menjadi sesuatu yang sangat akrab. Hampir sebagian besar lini perbincangan, wacana hantu bisa keluar masuk tanpa persoalan.

Secara dialektis hal itu merupakan bagian dari dampak kemajuan teknologi. Dalam berbagai cara, teknologi, terutama teknologi audio-visual mampu menghadirkan keberadaan hantu hingga menjadi kasat mata, dapat menelusup ke ruang-ruang publik, dan dikemas dengan cara yang amat menarik, sedikit horor, tetapi tidak jarang lucu dan menyenangkan. Hantu saat ini sudah menjadi kawan, teman bisnis yang sangat komersial. Acara-acara seperti Pemburu Hantu, Dunia Lain, Percaya Tidak Percaya, UK-UK, juga sejumlah sinetron yang bertokohkan hantu adalah sejumlah contoh kecil yang dapat kita saksikan di televisi kita.

Itulah sebabnya, saat ini, seseorang yang dikenal sebagai ahli hantu, atau semacam paranormal, dukun, atau sejenis itu, menjadi orang terkenal, sibuk, dan ditanggap ke sana kemari. Mereka dipercaya dapat menerangkan banyak hal terhadap satu fenomena yang mayoritas orang tidak dapat menjelaskan sosok dan keberadaan hantu. Mereka dipercaya dapat meramal berbagai kejadian, baik yang terselubung maupun yang akan datang. Bahkan mereka dipercaya dapat merubah sesuatu, berdasarkan tujuan tertentu, berkat kemampuan kerja samanya dengan hantu-hatu itu.

Dan di balik semua itu, tentu saja mereka mendapat imbalan. Kita tahu, banyak paranormal dan atau dukun yang kaya raya. Orang-orang seperti Ki Gendeng Pamungkas, Permadi, Joko Bodo, teman-teman kita di Tim Pemburu Hantu, adalah sedikit contoh orang sukses yang kaya raya berkat kemampuannya menguasai dunia hantu. Kita tidak menuduh mereka membisniskan kemampuan mereka hanya untuk cari uang. Karena toh banyak juga orang yang merasa berterimakasih kepada mereka berkat pertolongannya. Selalu pula mereka para dukun dan paranormal itu mengatakan bahwa apa yang bisa mereka bantu semata-mata karena kehendak Allah Yang Maha Berkuasa.

* * *

Terlepas dari itu, memang, fenomena dan maraknya masalah perhantuan selalu menjadi polemik. Secara sederhana sumber polemik itu dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Pertama, antara mereka yang percaya dan masih tidak percaya. Pada umumnya, latar belakang kepercayaan dan ketidakpercayaan itu berdasarkan interpretasi mereka terhadap agama yang mereka anut. Orang Islam misalnya, percaya dengan adanya jin dan setan, tetapi konsep atau istilah hantu masih belum selesai.

Kedua, ada yang percaya atau tidak percaya semata-mata karena rasionalistas seseorang dalam menafsirkan sesuatu yang nyata atau tidak nyata. Dalam konteks ini, bagi mereka yang tidak percaya, karena yang tidak nyata, yang tidak kasat mata, yang tidak empiris, adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya, tak terpikirkan, bahkan tak perlu dipikirkan. Biasanya mereka akan percaya jika telah mengalami secara empiris, mengalami sendiri fenomena hantu itu.

Ketiga, tidak tertutup kemungkinan adalah mereka yang antara percaya dan tidak percaya, baik karena interpretasi individual terhadap agama maupun rasionalitas mereka dalam memahami sesuatu yang memang selalu menimbulkan keraguan tersebut. Dalam hal ini yang penting adalah tidak ada satu keharusan pun yang dapat memaksa, atau perlu dipaksa, apakah seseorang perlu percaya kepada hantu atau tidak. Biarkanlah itu menjadi kepercayaannya sendiri-sendiri.

Sisi lain dari polemik tersebut adalah dengan mempertanyakan kenapa justru hantu yang dipilih sebagai sosok atau tokoh kita hari-hari ini. Seperti diketahui, banyak sinetron yang mengandalkan hantu, jin, peri/bidadari, kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya, untuk mengatasi banyak masalah. Sisi ini memperlihatkan ketidakpercayaan manusia akan kemampuannya sendiri untuk mengatasi masalah. Atau memang terbukti, paling tidak di Indonesia, orang Indonesia tidak dapat mengatasi masalahnya sendiri yang sudah bertumpuk.

Kita tahu, masalah korupsi, koflik-konflik horisontal atau vertikal, penyelewengan hukum, kriminalitas politik, ekonomi, dan sebagainya, hingga hari ini tidak pernah terselesaikan secara memadai. Belum lagi masalah-masalah internasional, kasus TKI, bagaimana mengamankan pulau-pulau dan perairan Indonesia nun jauh di pinggir-pinggir Indonesia. Yang pasti, berbagai masalah tersebut menyebabkan Indonesia tersungkur menjadi salah satu negara paling menderita dan melarat di dunia.

Kemungkinan lain kenapa hantu menjadi pahlawan, karena manusia tidak mau bersaing untuk menokohkan atau mempahlawankan manusia lain sebagai penyelamat. Orang itu kalau bisa menjadikan pahlawan dirinya sendiri. Namun, karena kemampuan itu ternyata sulit diraih, atau memang tidak memiliki kemampuan yang lebih, maka sosok hantu, sesuatu yang hampir tidak tergugat, dan sangat mungkin tidak relevan dijadikan saingan, sehingga hantu sajalah yang menjadi pahlawan. Siapa yang cemburu jika hantu dapat menyelesaikan banyak masalah. Dia bukan saingan manusia.

Kemungkinan lain, mungkin semacam sikap ketidakberdayaan manusia memahami dirinya. Memang, selalu ada sikap dan rasa penasaran ketika manusia memahami kemanusiaannya, dan hingga hari ini, dalam segala kompleksitas perspektif teoretis, manusia itu secara mendasar masih dianggap misterius, tidak terselesaikan upaya memahaminya. Hantu juga misterius, dan menimbulkan rasa penasaran. Akan tetapi, ia bisa menjadi relfleksi dari rasa penasaran itu sendiri. Yang pasti, hantu tidak pernah menggugat bagaimana dia dipahami atau bahkan mungkin diperlakukan.

* * *

Akan tetapi, saya punya misi lain dengan tulisan ini. Para dukun dan paranormal itu selalu mengatakan bahwa sosok hantu, jin, setan, dan sebagainya itu bukanlah makhluk yang sempurna. Manusialah makhluk yang sempurna. Mereka bisa ditahklukkan. Artinya, manusia justru memiliki peluang untuk mengatasi dan mengelola keberadaan hantu, yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia.

Nah, kita tahu saat ini para dukun dan paranormal, dalam banyak hal bekerja masih dalam koridor menolong manusia lain, orang per orang. Mungkin pula menolong kelompok-kelompok tertentu demi tujuan yang beragam. Dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia, misalnya, dunia paranormal dan dukun berperan penting bagi tujuan-tujuan tertentu. Di sisi lain para dukun itu sebagian besar juga telah menikmati kemampuan dari kelebihannya dengan imbalan materi. Walaupun mungkin pernyataan ini sedidkit berlebihan.

Saya justru ingin menantang para dukun dan paranormal itu untuk tujuan yang lebih mulia dan besar. Dengan kemampuannya mengatasi dan mengelola dunia hantu, kemampuan itu dimanfaatkan untuk menyelamatkan Indonesia. Misalnya, menyelamatkan pulau dan perairan Indonesia nun jauh di pinggir-pinggir sana, memburu para koruptor dan para penjahat lainnya, atau apa sajalah demi perbaikan Indonesia. Sambil menolong masyarakat, kerahkan pasukan hantu ke tempat-tempat tersebut, atau tangkap para koruptor dan penjahat dalam segala cara.

Dalam hal ini sangat mungkin para koruptor dan penjahat itu punya dukungan dukun atau paranormal juga. Oleh karena itu, bersatulah para dukun dan paranormal, selamatkan Indonesia dari kehancuran. Anda boleh mengambil sedikit keuntungan dari pekerjaan tersebut, tapi kita harus kompak. Yah, mana tahu. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UGM.